Tuesday 2 April 2013

Kontroversi Ban Bekas Dilarang Untuk Rumpon


Kontroversi nelayan merasakan enaknya menangkap ikan dan irit transport melaut dengan adanya rumpon yang dekat pantai,tetapi dulu pemerintah yang menganjurkan sekarang jadi melarangnya. Pemerintah melarang penggunaan rumpon dasar dari ban bekas dengan alasan menghasilkan senyawa dioksin. Nelayan dan peneliti tidak yakin.

Rezeki tak perlu jauh dicari. Kaharto dan Askuna menikmati betul pekerjaannya sebagai nelayan. Tak perlu jauh ke tengah laut, Kaharto sudah bisa membawa pulang tak kurang dari 20 kilogram ikan teri nasi setiap melaut. Ia cukup mengarahkan perahunya ke perairan Wonokerto, di wilayah Wiradesa, Pekalongan, Jawa Tengah, tak jauh dari tempat dia tinggal. Di sana ia bisa memanen ikan yang berkumpul di rumpon dasar yang tersusun dari ban bekas.
“Setelah ada rumpon, kami mudah memperoleh tangkapan ikan,” kata Askuna, nelayan asal Juwana, Pati, Jawa Tengah, yang sama seperti Kaharto, mengaku selalu mendapatkan hasil besar saat melaut.
Namun rezeki Askuna dan Kaharto tampaknya bakal terpangkas tak lama lagi. Departemen Kelautan dan Perikanan melarang penggunaan rumpon dasar dari ban bekas di seluruh perairan Indonesia sejak 24 September lalu. Alasannya, penggunaan rumpon ban bekas dalam jangka panjang dapat merusak lingkungan. Rumpon jenis ini juga dapat menghasilkan senyawa dioksin, yaitu 2,3,7,8-toxic strong TCDD, yang bisa meracuni biota laut dan manusia yang mengkonsumsinya. Dioksin bahkan dipercaya dapat memicu kanker pada manusia.
Surat edaran pelarangan dari Departemen Kelautan dan Perikanan terbit setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Kejawenan, Cirebon, Jawa Barat, bulan lalu. Di hadapan sejumlah nelayan, yang meminta pengadaan rumpon dasar diperbanyak, Presiden menyatakan penggunaan ban bekas sebagai rumpon justru harus dihentikan. Presiden rupanya mendapat informasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, yang menyebut bahwa ban bekas berpotensi menghasilkan senyawa dioksin.
Larangan itu tentu saja menyengat Askuna dan kawan-kawan. Bukan apa-apa, ada ribuan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada rumpon ini. Jumlah rumpon dasar dari ban bekas juga tak sedikit. Hingga tahun lalu telah terpasang sekitar 1.460 modul rumpon dasar yang tesebar di Pekalongan, Pati, Demak, Rembang, dan di beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah. Tiap modul terdiri dari 80-140 bingkai ban bekas. Jumlah ini belum termasuk rumpon dari provinsi lain.
Penggunaan ban bekas sebagai rumpon dasar di perairan Indonesia juga bukan hal baru. Sejak 1985, Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang telah memproduksi rumpon berbahan dasar ban bekas. Rangkaian ban membentuk piramid ini ditenggelamkan ke dasar laut dan diharapkan membentuk ekosistem baru.
Di dasar laut, rumpon tersebut selanjutnya akan ditumbuhi karang dan menjadi tempat berlindung ikan-ikan kecil. Rumpon ini pun menjadi tempat bertelur favorit. “Kalau ikan-ikan kecil berkumpul ikan besar pemangsa akan datang. Sehingga di situ ada kepastian fishing growth. Kepastian tempat penangkapan,” kata Ali Supardan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
Keberadaan rumpon itu sangat menguntungkan nelayan. Selain membantu meningkatkan hasil tangkapan, juga mengurangi pengeluaran bahan bakar karena nelayan tak perlu jauh-jauh mencari tempat berkumpulnya ikan. “Mereka bisa menghemat bahan bakar sampai 30 persen,” ucap Supardan.
Menurut Supardan, penggunaan ban bekas bukan lantaran harganya yang murah, melainkan juga atas anjuran beberapa institusi. “Penggunaan ban bekas itu punya dasar. Di luar negeri, ban juga dipakai untuk bahan rumpon,” katanya.
Namun dari luar negeri itu pula kabar bahaya rumpon ban bekas pertama kali muncul. Soen’an H. Poernomo, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan, bercerita bahwa pada September tahun lalu pemerintah Amerika Serikat telah mengangkat dua juta ban bekas yang ditenggelamkan sejak 1972 di perairan Ft. Lauderdale, Florida. Ternyata, setelah 30 tahun terendam, ban bekas yang rapuh dan hancur itu mengeluarkan dioksin. Ini yang membuat Departemen Kelautan mesti mengkaji lebih lanjut penggunaan ban bekas. “Jangan sampai seperti madu dan racun. Demi mendapatkan tangkapan yang banyak, justru racun yang didapat,” katanya.
Supardan tak sependapat. Menurut dia, informasi tersebut tak jelas sumbernya. Berdasarkan penelitian National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pengangkatan di Florida itu dilakukan lantaran ban bekas tersebut terlepas dari ikatan, terbawa arus, dan merusak terumbu karang yang ada. Banyak juga yang tersembul ke permukaan dan mengotori pantai.
“Jadi, setelah kami pelajari literaturnya, ini bukan karena dioksin,” kata Supardan. Ia menambahkan bahwa saat ini belum dijumpai hasil penelitian bahwa ban saat ditenggelamkan dapat mengeluarkan dioksin. “Yang sudah ada, ban yang dibakar memang mengeluarkan dioksin. Beberapa percobaan mengatakan demikian.”
Nur Bambang, Kepala Bidang Penyebaran Teknologi Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang, menguatkan keterangan Supardan. Menurut dia, belum ada kajian ilmiah yang menyatakan bahwa ban bekas yang terendam di dasar laut bisa menghasilkan dioksin. ”Jadi, pengangkatan ban bekas di Florida sama sekali tak terkait dengan isu dioksin,” kata Bambang.
Bambang memaparkan studi kasus pembakaran ban di tungku pabrik semen Holcim. Pembakaran bahan yang mengadung klor, seperti karet dan plastik, di tungku Holcim menghasilkan benzene, metal berat, dan dioksin. Dioksin adalah senyawa yang terbentuk dari adanya karbon, hidrogen, oksigen, klor, dan panas. ”Jangan lupa, dioksin adalah senyawa kimia yang dihasilkan melalui proses pembakaran, bukan karena terendam dalam laut,” katanya.
Agus Haryono, peneliti di bidang polimer pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pun mengungkapkan bahwa dioksin terbentuk karena reaksi pembakaran yang tak sempurna. “Pembakaran itu merupakan syarat mutlak,” ujarnya.
Kendati bahaya rumpon ini belum teruji secara ilmiah, toh surat edaran pelarangan penggunaan rumpon dasar dari ban bekas sudah tersebar. Justru Supardan yang menandatangani surat itu. Menurut Soen’an, Presiden ketika di Cirebon meminta agar Menteri Numberi segera membuat peraturan pelarangan rumpon ban bekas itu. “Surat ini mesti dilihat sebagai bentuk kehati-hatian, sambil menunggu penelitian resmi,” ucap Supardan. Pemerintah sendiri, katanya, tak akan memberikan sanksi bagi yang melanggar. Departemen Kelautan pun tak punya rencana mengangkat rumpon dasar dari ban bekas yang telah tersebar di pantai laut Jawa.
Pengembangan rumpon dasar saat ini akan diuji coba dengan menggunakan pipa paralon, selain bahan beton yang sudah pernah dicoba sebelumnya. Kedua bahan baku tersebut membutuhkan biaya lebih besar dibanding ban bekas. Suardoyo, Kepala BPPI Semarang, membenarkan bahwa penggunaan beton memerlukan anggaran yang tinggi dan proses penurunan ke dasar laut sangat berisiko karena harus menggunakan crane. “Perbandingannya bisa tiga sampai empat kali lipat dari ban bekas,” ujarnya.
Kaharto dan Askuna mengaku sama sekali tak mengetahui bahwa rumpon dasar dari ban bekas itu berbahaya dan dapat mengeluarkan racun. “Saya belum tahu. Yang kami tahu, keberadaan rumpon sangat membantu nelayan mencari ikan,” kata Askuna. “Selama ini kami memakan hasil ikan dari rumpon itu. Kami baik-baik saja.”Firman Atmakusuma, Vennie Melyani, Sohirin (Semarang) (Tempo, Edisi 27 Oktober 2008)

No comments:

Post a Comment